“Technology for Justice”
(Implementasinya di Peradilan Agama)
Surabaya | Badilag.net.
Buku berjudul “Technology For Justice, How Information Technology Can Support Judicial Reform”, terbitan Leiden University Press akhir tahun 2009, menarik perhatian Dirjen Badilag, Wahyu Widiana. Buku, hadiah dari Haemiwan Z. Fathony, pakar IT bidang hukum, ini selama ini selalu menjadi santapannya sehari-hari.
Buku setebal 310 halaman ini merupakan disertasi doktor Dory Reiling, seorang hakim pada pengadilan tingkat pertama Amsterdam yang pernah menjabat sebagai IT Policy Officer untuk peradilan Belanda dan sebagai Pakar Senior dari World Bank Judicial Reform.
Dalam pengantar presentasinya pada pertemuan dengan sekitar 100 pimpinan, hakim dan operator IT dari PTA dan PA se Jawa Timur, tentang Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, di aula PTA Surabaya, kemarin (2/11) siang, Dirjen membacakan beberapa kalimat dari buku itu.
“Court users all over the world complain mainly about long delays, lack of access to justice and court corruption. …there are claims that each of them can be resolved with information technology…”. Itulah di antara kalimat-kalimat yang dibaca Dirjen.
“Saya sangat setuju dengan tulisan itu. Pemanfaatan teknologi yang tepat dan menyeluruh dapat menghilangkan, atau setidak-tidaknya sangat mengurangi 3 (tiga) keluhan utama yang disampaikan oleh para pengguna pengadilan, yaitu (1) proses pengadilan yang terlalu lama, (2) keadilan atau pengadilan yang sulit diakses, dan (3) pengadilan yang korup”, kata Dirjen menegaskan.
Yang menarik lagi, keluhan itu sudah terjadi sejak dulu, sampai sekarang. Dory menulis pada halaman 17, “Over the centuries and all over the world, three major complaints have been heard that can still be heard today”.
Implementasi Pemanfaatan Teknologi di Lingkungan Peradilan Agama.
Menyadari manfaat yang besar dari penggunaan TI untuk kepentingan penyelenggaraan peradilan, 5 tahun terakhir ini, Ditjen Badilag dengan gencar melakukan upaya pembangunan TI dan pembudayaan penggunaannya di lingkungan peradilan agama.
“Kami betul-betul terinspirasi ketika saya dan rombongan pertama dari peradilan agama melakukan study khusus ke Family Court of Australia tahun 2006”, kata Dirjen kepada Badilag.net, usai pertemuan itu.
“Dengan tekad yang kuat -walaupun anggaran, sarana dan SDM terbatas-, kawan-kawan di Badilag bekerja keras melakukan pembangunan, pengembangan dan pembudayakan IT. Saya senang dan salut kepada kawan-kawan yang kompak dan bekerja tanpa pamrih”, kata Dirjen sambil menyebutkan beberapa nama seperti Asep Nursobah, Helmi, Endah, Hirpan, Cholil, Iwan, Ridwan, Wahyu Setiawan, Rosmadi, Hermansyah, Yakub, Nasich, Zeinuddin, Yusuf dan lainnya.
“Saya juga senang, kawan-kawan di daerah semuanya mendukung dan berlomba-lomba mengembangkan kreativitasnya di bidang IT untuk kepentingan pelayanan, walau dengan keterbatasan sumber daya”, tambah Dirjen. “Bahkan, banyak kawan-kawan yang telah menjadikan IT sebagai hobbi”, tambahnya lagi.
Rasa senang Dirjen juga nampak, sebab sebagai hasil dari kreativitas dan hobi itu kini sudah banyak jenis aplikasi yang dibangun dan dikembangkan, baik di lingkungan Badilag sendiri, maupun di lingkungan peradilan agama se Indonesia. Ada situsweb, SIMPEG, SIADPA, SIADPAWEB, SMS Gateway, NIR, Info Touchscreen, Info Jadwal Sidang pada TV Plasma, Baarcode System, Qeuee System, dan lain-lain.
Three Major Complaints dan IT di Peradilan Agama.
Mestinya, jika aplikasi-aplikasi itu sudah diimplementasikan dengan baik di seluruh PTA dan PA, tiga keluhan utama para pengguna pengadilan seperti dikemukakan Dory, akan hilang atau berkurang secara signifikan.
Keluhan pertama, proses peradilan yang dianggap terlalu lama (delays), dapat diatasi dengan penggunaan SIADPA. SIADPA yang tidak lain adalah ‘case management’ atau pola bindalmin yang diotomatisasi, dapat mempercepat proses penanganan perkara sejak pendaftaran, sampai putusan dan pelaporan.
Sedangkan keluhan kedua, ‘lack of access to justice’ bisa dirubah menjadi ‘easy to access’, dengan memanfaatkan situsweb dan touchscreen information. Alamat dan profil pengadilan, biaya perkara, prosedur berperkara, hak-hak yang berperkara, jadwal sidang, panggilan ghaib, statistik dan data lainnya sangat mudah untuk dilihat pada situsweb atau pada touchscreen. Dari rumah masing-masing, masyarakat bisa melakukan akses langsung melalui internet.
Keluhan ketiga, ‘court corruption’, dapat dikurangi dengan transparansi yang tinggi, baik mengenai biaya perkara, proses berperkara, publikasi putusan yang segera setelah dibacakan, jadwal sidang, dan SOP-SOP yang jelas. Semuanya ini dapat disajikan secara terbuka pada situsweb. Transparansi yang tinggi dapat menghalangi adanya korupsi. Namun tetap, kuncinya adalah integritas dari para hakim dan seluruh aparat pengadilan.
“Larangan bertemu atau berkomunikasi antara pencari keadilan dengan para hakim atau aparat lainnya yang tidak berwenang, dapat mengurangi kesempatan yang dapat mengarah kepada adanya tindakan korupsi”, tegas Dirjen.
“Agar larangan tersebut tidak mengurangi hak para pencari keadilan dalam mendapatkan informasi, pengadilan dapat memanfaatkan aplikasi pengaduan pada situswebnya, atau membuka hotline pengaduan melalui tilpon, sms atau tatap muka dengan petugas yang sudah disiapkan untuk itu”, tambahnya lagi.
“Pokoknya, dengan mengembangkan aplikasi-aplikasi berbasis teknologi secara baik, saya yakin, pelayanan publik akan menjadi lebih baik. Ini akan sangat mengurangi keluhan-keluhan para pencari keadilan”, ujar Dirjen penuh keyakinan.
Yang Kini Perlu Dilakukan.
Jenis-jenis teknologi yang kini sudah berkembang di lingkungan peradilan agama dinilai Dirjen sudah lebih dari cukup untuk menuju pelayanan publik yang lebih baik.
“Yang perlu dilakukan, kini, adalah mengerahkan segala daya yang ada untuk mengefektifkan penggunaan IT tersebut seoptimal mungkin. Caranya antara lain dengan melakukan pelatihan secara formal dan DDTK terus menerus, melengkapi sarana yang kurang, melengkapi dan meng’update’ data pada situsweb secara rutin, mengupayakan pemanfaatan SIADPA sebaik mungkin, dan lain-lain”, kata Dirjen.
“Yang paling penting lagi adalah perhatian pimpinan dalam melakukan peningkatan pembudayaan penggunaan IT. Saya mengharapkan agar para pimpinan dan para hakim PA/PTA memberikan perhatian yang besar terhadap pemanfaatan IT ini”, pinta Dirjen.
Oleh karena itu, Dirjen sangat mengapresiasi kebulatan tekad PTA Surabaya, yang dibacakan setelah pertemuan kemarin itu, untuk meningkatkan pemanfaatan IT dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi. Semua hakim tingginya dituntut untuk meningkatkan keterampilan dalam bidang IT dan memonitor pemanfaatan IT di seluruh PA yang ada di wilayahnya, sesuai dengan pembagian tugas Hatiwasda.
Memang sudah banyak dirasakan, betapa besar manfaat teknologi untuk penyelenggaraan peradilan. “Namun, cara-cara konvensional yang sederhana praktis, mudah, murah dan efektif janganlah ditinggalkan. Dan, di atas segala-galanya adalah niat yang tulus, perhatian yang konsisten dan integritas
yang tinggi dari para pimpinan pengadilan dan seluruh aparatnya”, kata Dirjen mengakhiri dialognya dengan Badilag.net