Peradilan Agama Bertekad Berantas Mafia Hukum (17/2) |
Oleh Hermansyah |
Kamis, 17 Februari 2011 08:42 |
Peradilan Agama Bertekad Berantas Mafia Hukum
Jakarta l badilag.net
Peradilan agama berkomitmen penuh untuk memberantas mafia hukum. Upaya itu dilakukan secara konsisten oleh berbagai lapisan satuan kerja, mulai Ditjen Badilag, Pengadilan Tinggi Agama hingga Pengadilan Agama.
Demikianlah salah satu kesepakatan penting yang tercapai dalam rapat koordinasi bertemakan “Pemberantasan Mafia Hukum di Lingkungan Peradilan Agama”, yang digelar di Ruang Rapat Badilag, di lantai 6 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung, Rabu (17/2/2011).
Rapat tersebut dihadiri pimpinan Badilag serta Ketua dan Panitera/Sekretaris PTA Jakarta, PTA Banten dan PTA Bandung. Selain itu, rapat tersebut juga melibatkan Ketua dan Panitera/Sekretaris PA se-DKI Jakarta, PA Bogor, PA Depok, PA Cibinong, PA Bekasi, PA Cikarang, PA Tangerang dan PA Tigakarsa. Beberapa hakim pengawas dari PTA Jakarta dan Mahkamah Agung juga turut mengikuti rapat ini.
Dirjen Badilag memimpin rapat sambil mengupas sebagian isi buku “Mafia Hukum”. Di sebelah kanannya ialah Ketua PTA Jakarta. Sedangkan di sebelah kiri adalah Ketua PTA Bandung dan Ketua PTA Banten.
“Melalui rapat koordinasi ini kita ingin membangun komitmen untuk memberantas mafia hukum. Selain itu, sebisa mungkin kita rumuskan solusi-solusi,” kata Dirjen Badilag Wahyu Widiana. Rumusan lengkap hasil rapat tersebut dapat dilihat di sini.
Dirjen Badilag menyatakan, gagasan awal menggelar rapat ini bermula dari pertemuan dengan Ketua Muda Urusan Lingkungan Agama, Andi Syamsu Alam, belum lama ini. Dalam pertemuan itu Tuada Uldilag membahas sebuah buku yang diterbitkan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum berjudul “Mafia Hukum: Modus Operandi, Akar Permasalahan dan Strategi Penanggulangan.”
Ditjen Badilag segera menyusun langkah-langkah konkrit untuk menindaklanjuti pertemuan itu. Pekan lalu, Ditjen Badilag menerjunkan tim pemantau ke beberapa PA di Jakarta dan sekitarnya. Tim tersebut mengumpulkan informasi secara diam-diam dengan melakukan observasi dan mewawancarai berbagai pihak, baik aparat pengadilan maupun pencari keadilan.
Laporan tim pemantau tersebut kemudian dijadikan referensi untuk mengidentifikasi beberapa penyimpangan yang terjadi di PA, khususnya dalam hal pelayanan kepada pencari keadilan. Laporan tersebut juga dijadikan salah satu acuan dalam rapat koordinasi kali ini.
Hasil rumusan rapat ini akan dilaporkan kepada Sekretaris dan Tuada Uldilag MA. Setelah itu, hasil rumusan rapat ini juga akan dibahas dalam forum yang lebih besar, yaitu rapat koordinasi Ketua PTA se-Indonesia yang akan digelar pada 24 Februari nanti.
Meramu solusi
Secara umum, dapat dikatakan bahwa belum ada mafia hukum yang sifatnya terorganisasi dan sistemik di peradilan agama. Berdasarkan temuan Badan Pengawasan, penyimpangan biasanya dilakukan individu-individu tertentu.
Ketua PTA Bandung, Zainal Imamah, mengakui bahwa penyimpangan-penyimpangan di peradilan agama memang ada, walaupun kecil-kecilan. “Kami tidak bisa menjamin tidak ada mafia hukum 100 persen,” tuturnya.
Para peserta serius mengikuti rapat koordinasi.
Untuk meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan itu, sejumlah cara dapat ditempuh. Di antaranya ialah mengoptimalkan meja informasi (information desk). Dalam peradilan yang modern, meja informasi sangat berguna untuk mengurangi interaksi dan komunikasi antara pencari keadilan dan aparat peradilan di dalam gedung pengadilan. Pihak yang berperkara cukup menanyakan informasi kepada petugas informasi, tanpa harus bertemu dengan hakim atau pegawai pengadilan.
“Persoalannya, praktik mafia hukum sekarang makin canggih. Misalnya dengan memakai SMS,” tutur Ketua PTA Jakarta, Khalilurrahman.
Transparansi peradilan juga sangat penting. Sedapat mungkin, setiap pengadilan memasang informasi yang jelas dan akurat mengenai biaya dan prosedur berperkara, termasuk pengembalian sisa panjar. Informasi-informasi mengenai himbauan atau larangan melakukan hal-hal tertentu juga cukup berdampak.
Dengan informasi-informasi yang jelas, masyarakat tidak gampang tertipu oleh calo perkara. Sebab, selama ini ada beberapa temuan yang menunjukkan bahwa pihak berperkara membayar lebih mahal kepada calo lantaran tidak tahu persis prosedur dan biaya berperkara.
“Seorang perantara rata-rata minta Rp 2,5 juta hingga 5 juta kepada pihak yang berperkara,” tutur Ketua PA Depok, Nia Nurhamidah Romli. Informasi ini, ujarnya, dapat dipercaya lantaran dia mendengar langsung pengakuan dari beberapa pihak.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk mencegah praktik mafia hukum ialah meneguhkan sikap aparat peradilan untuk tidak memungut dan menerima pemberian dalam bentuk apapun dari pihak berperkara, baik langsung maupun tidak langsung.
“Di tempat kami, ada larangan menerima uang. Kalaupun ada yang menerima, kami tidak pernah mengkoordinirnya,” ujar Panitera/Sekretaris PA Tangerang, Ali Mansur. Larangan ini, tandasnya, dapat menumbuhkan mental yang baik selaku pelayan publik.
Keteladanan pimpinan juga tidak dapat diremehkan untuk memberantas mafia hukum. Bawahan akan cenderung melakukan penyimpangan bila pimpinannya acuh.
“Seorang pimpinan jangan bosan-bosan melakukan pendekatan agama kepada jurusita, panitera pengganti, bahkan hakim. Perlu dingatkan terus, bahwa kita digaji dengan pajak dari rakyat. Karena itu tidak pantas jika perilaku aparat peradilan merugikan rakyat,” tutur Ketua PTA Banten, Thahir Hasan.
Hal penting lainnya yang dapat dilakukan ialah memberikan sanksi yang tegas terhadap aparat peradilan agama yang melakukan penyimpangan. Tentu, punishment itu harus diimbangi dengan reward bagi aparat yang berprestasi.
“Harus ada sanksi tegas. Hukuman yang sifatnya persuasif tidak efektif untuk meminimalkan penyimpangan-penyimpangan,” ungkap Wakil Ketua PTA Jakarta, Zainuddin Fajari.
Rapat koordinasi yang berlangsung dari jam 10 hingga 15.30 WIB ini juga menyepakati persoalan pengawasan. “Tugas memberantas mafia hukum tidak bisa dilakukan Badilag sendiri, tapi harus melibatkan PTA dan PA,” ujar Dirjen Badilag.
Karena itu, Dirjen Badilag mengintruksikan agar para hakim pengawas di PTA lebih intensif melakukan pengawasan. Sebab, selain memutus perkara di tingkat banding, tugas utama hakim PTA adalah melakukan pembinaan dan pengawasan ke PA-PA.
Langkah lain yang akan ditempuh adalah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait. “Untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan meminimalkan penyimpangan-penyimpangan, kita perlu melakukan koordinasi dengan Kandepag, BP4 dan para pengacara,” kata Dirjen Badilag.
Di ujung pertemuan, Dirjen Badilag mewanti-wanti agar aparat peradilan tidak menjadi bagian dari mafia hukum. “Kita sudah mendapat apresiasi positif dari dalam dan luar negeri sebagai lembaga peradilan yang bersih. Kita pertahankan itu dengan berkomitmen untuk tidak terlibat dalam praktik mafia hukum,” tandasnya.
(hermansyah)