Artikel

Oleh Achmad Fauzi
Hakim Pratama Utama di Pengadilan Agama Kota Banjar, Jawa Barat
Artikel ini dimuat di Koran Media Indonesia tanggal 11 Januari 2020

Presiden Joko Widodo terus mendorong pertumbuhan ekonomi, perbaikan iklim usaha, dan investasi. Hal ini dilatari akses kemudahan berusaha yang belum optimal. Berdasarkan survei Bank Dunia tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-72. Penilaian tersebut didasarkan indikator pencapaian sektor publik dalam memperbaiki regulasi iklim usaha dan investasi. Maka dari itu, pemerintah beberapa waktu lalu menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

Pemerintah mengharapkan semua komponen berperan dalam mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Hal-hal berkaitan dengan kegiatan mengawali usaha (starting a business), perlindungan investor minoritas (protecting minority investor), hingga penyelesaian sengketa di pengadilan harus dijamin oleh regulasi. Kepastian hukum harus diperoleh melalui proses yang cepat, efisien, dan berkeadilan . 

Tak dimungkiri, tuntutan bisnis yang berporos pada inovasi dan efektivitas kerja di era Revolusi Industri 4.0 memantik persaingan yang ketat. Sehingga tak jarang menimbulkan sengketa di bidang hukum. Bagi pelaku usaha internasional, stigma penyelesaian sengketa melalui pengadilan masih dianggap tidak efektif dan efisien karena memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya mahal. Di samping itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan menempatkan para pihak pada sisi berseberangan: sebagai pemenang dan pihak yang kalah. Hal ini dipandang tidak menyelesaikan masalah. Lantas apa respons lembaga peradilan dalam menepis stigma tersebut dalam konteks menciptakan iklim kemudahan berusaha?

Peran Peradilan

Mahkamah Agung (MA) sejatinya memiliki andil dalam proses menciptakan iklim kemudahan berusaha. Menjawab tantangan itu MA telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan secara Elektronik. Tata kelola administrasi perkara dan proses persidangan yang semula berjalan manual kini bergerak ke arah otomasi. E-litigasi tersebut dipastikan efektif di seluruh pengadilan sejak ayam berkokok Januari 2020. E-litigasi hakikatnya merupakan pengembangan dari menu e-court yang terkoneksi dengan aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Demi kemudahan, aplikasi ini menggunakan metode sekali input data untuk e-court dan SIPP.

Beberapa tahapan yang harus dilalui dalam proses e-litigasi ialah, pertama, pendaftaran secara elektronik (e-filing). Masyarakat tak perlu antre datang ke pengadilan. Cukup bermodal perangkat teknologi seperti handphone atau gadget yang terkoneksi dengan internet masyarakat langsung bisa melakukan pendataran. Terobosan ini sangat efisien dari segi waktu, tenaga, dan biaya.

Kedua, pembayaran secara elektronik (e-payment). Pengguna secara otomatis mendapatkan perhitungan taksiran biaya panjar (e-SKUM) yang disertai kode akun virtual saluran pembayaran elektronik. Pembayaran panjar secara elektronik ditujukan ke rekening pengadilan melalui saluran pembayaran elektronik yang tersedia. Hal ini untuk menghindari calo atau mengeliminir permainan perkara.

Ketiga, pemanggilan secara elektronik (e-summons). Pemanggilan dimaksud dilakukan kepada pihak Penggugat yang dilaksanakan secara elektronik ke alamat domisili elektronik yang telah terverifikasi. Sedangkan Tergugat atau pihak lain baru dipanggil secara elektronik apabila pada sidang pertama menyatakan persetujuannya secara tertulis untuk dipanggil secara elektronik.

Keempat, persidangan secara elektronik (e-litigasi). Jika Tergugat di persidangan pertama menyatakan setuju beracara secara elektronik, maka ada beberapa langkah berkaitan dengan tahapan persidangan lanjutan. Yakni, hakim menetapkan tahapan dan
jadwal persidangan lanjutan dan menyampaikan kepada para pihak melalui Sistem Informasi Pengadilan sesuai tanggal dan jam kerja yang telah ditetapkan. Adapun agendanya ialah penyampaian jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, hingga pembacaan putusan (Poin E angka (3) dan (4) SK KMA Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Perma No.1 Tahun 2019).

Pada persidangan tahap jawab menjawab para pihak wajib mengajukannya secara elektronik paling lambat pada hari dan jam sidang yang telah ditetapkan. Setiap dokumen elektronik berupa jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan oleh Majelis Hakim terlebih dahulu diverifikasi dan kemudian diteruskan kepada para pihak melalui Sistem Informasi Pengadilan. Apabila ternyata Penggugat tidak menyampaikan replik dan kesimpulan, atau Tergugat tidak menyampaikan jawaban, duplik, dan kesimpulan secara elektronik tanpa alasan yang sah, maka dianggap tidak menggunakan haknya, kecuali dengan alasan yang sah maka sidang ditunda satu kali.

Keunggulan E-litigasi

Penerapan e-litigasi di pengadilan dipastikan mampu menjawab keluhan utama masyaraka. Melalui e-litigasi, proses peradilan didesain selesai lebih cepat, efektif, transparan, dan berbiaya murah. Soal biaya dan waktu, misalnya, dalam persidangan elektronik tidak mengharuskan kehadiran pihak secara fisik. Semua data persidangan dibangun dalam aplikasi digital. Keunggulan utama lainnya ialah e-litigasi mengakomodasi keseluruhan proses persidangan dan meminimalisir kealpaan dalam mencatat peristiwa persidangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa e-litigasi memiliki keterhubungan linear dengan percepatan kemudahan berusaha. Pelaku usaha mendapatkan kepastian hukum dalam tempo yang cepat, sederhana, dan biaya murah. Persidangan perdata yang mulanya bisa berbulan-bulan baru selesai sehingga menguras biaya, energi, dan waktu, kini bisa disederhanakan proses dan dipangkas waktu penyelesaiannya. Sehingga dalam jangka panjang e-litigasi memperlancar denyut pertumbuhan usaha-usaha bisnis baru. Gairah ekonomi di Indonesia akan meningkat karena perlindungan hukum terhadap konsumen dan pelaku usaha di era teknologi digital lebih terjamin, transparan, dan berkeadilan.

 

 

Oleh : Firman Wahyudi

Abstract :

Secara normatif, kekuasaan orangtua kandung meliputi kekuasaan sebagai wali bagi anaknya, namun secara de facto, ketika kekuasaan perwalian ini bersinggungan dengan praktik perbankan dan peralihan hak atas tanah, maka pihak Bank dan PPAT/Notaris tetap mensyaratkan adanya dokumen tertulis berupa penetapan pengadilan. Fokus kajian ini membahas tentang urgensitas penetapan pengadilan dan prinsip prudential dalam perkara perwalian anak. Penelitian ini bersifat hukum normatif dengan pendekatan konseptual (conseptual approuch). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa urgensitas penetapan pengadilan adalah untuk memberikan aspek kepastian hukum dan merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian (prudential) untuk menghindari segala konsekuensi yuridis dan potensi sengketa di kemudian hari. Kata Kunci : Kepastian hukum, Prinsip prudential dan Perwalian.


Selengkapnya KLIK DISINI

Oleh : Ibad Syoifulloh Arief [1]

I. Latar Belakang

Pada pemeriksaan perkara perdata yang menjadi kompetensi di Pengadilan Agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg, menyatakan bahwa pada hari yang telah ditentukan, kedua belah pihak menghadap di persidangan maka Hakim diwajibkan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Upaya mendamaikan tersebut dilakukan dengan tujuan agar para pihak tidak melanjutkan perkaranya hingga tahap jawab-jinawab, pemeriksaan alat bukti baik surat dan atau para saksi, kesimpulan para pihak hingga pada sebuah putusan Hakim. Keseluruhan proses dalam persidangan di atas harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan hukum acara dan tidak dapat dipungkiri akan memakan waktu yang panjang, menguras tenaga dan pikiran.


[1] Calon Hakim Pengadilan Agama, PPC Angkatan 3, magang di Pengadilan Agama Jember.


Selengkapnya KLIK DISINI

Oleh: Delbi Ari Putra Ar-Riyawi, S.H.[1]

A. PENDAHULUAN

Hakamain adalah salah satu istilah yang terdapat dalam hukum Islam sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata temasuk didalamnya kasus syiqaq. Secara umum diketahui bahwa hakamain (juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri.

Sayyid Qutb menyatakan dalam tafsirnya bahwa Dia (Allah swt) hendak mempertemukan kedua belahan jiwa itu sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, supaya pertemuan ini menenteramkan jiwa tersebut, menenangkan sarafnya, menenteramkan ruhnya, melegakan jasadnya. Kemudian menutup, melindungi, dan menjaganya sebagai ladang untuk menyemaikan keturunan dan mengembangkan kehidupan, dengan terus meningkatkan segala sesuatunya dan senantiasa memelihara suasana yang menenangkan, menenteramkan, tertutup dan terlindung.[2]


[1]Saat ini Penulis merupakan Calon Hakim Pengadilan Agama Natuna yang sedang magang di PA Banyuwangi sebagai rangkaian mengikuti Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu Angkatan III Peradilan Agama tahun 2018-2020.

[2] Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilalir Qur’an II, terj. hlm. 352

Selengkapnya KLIK DISINI

Oleh Fadhilah Halim, S.H.I, M.H

PENDAHULUAN

Tulisan ini bermula dari pembahasan para hakim perempuan di grup whatsapp “Cakrawati Pengadilan Agama” mengenai semakin subur dan maraknya perkara Dispensasi Kawin yang masuk ke Pengadilan Agama, terutama di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Banten maupun Bandung. Hampir setiap harinya disidangkan 4 (empat) perkara Dispensasi Kawin, itu masih 1 (satu) majelis dan sehari itu sekitar ada 3 sampai 4 majelis yang bersidang (sebelum terbitnya aturan yang mengatur mengenai sidang Hakim Tunggal). Ada juga yang berkomentar bahwa dengan adanya perubahan Undang-Undang Perkawinan mengenai batas minimal usia perkawinan bagi seorang wanita, maka Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah kebanjiran perkara Dispensasi Kawin. Apakah yang membuat semakin maraknya perkara Dispensasi Kawin yang masuk ke Pengadilan Agama?, ternyata sebabnya adalah setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa usia perkawinan yang diizinkan bagi pria dan wanita adalah 19 tahun. Yang sebelumnya dibedakan antara pria dan wanita, bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

 


Selengkapnya KLIK DISINI

Ketua PA Kisaran Melaksanakan Audiensi dengan Kapolres Asahan
Kisaran | https://www.pa-kisaran.go.id Ketua Pengadilan Agama Kisaran, Y.M. Ibu Evawaty, ...
Petugas Teknis PA Kisaran Ikuti Sosialisasi Pembaruan Aplikasi SIPP dan e-BERPADU
Kisaran | https://www.pa-kisaran.go.id Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam ...
Rapat Penyusunan Rencana Kerja Tim Pembangunan Zona Integritas PA Kisaran Tahun 2025
Kisaran | https://www.pa-kisaran.go.id Tim Kerja Pembangunan Zona Integritas (ZI) Pengadilan ...
Sosialisasi E-Court dan Diskusi Bersama Advokat di PA Kisaran
Kisaran | https://www.pa-kisaran.go.id Pengadilan Agama (PA) Kisaran sukses melaksanakan sosialisasi ...